Kamis, 23 Juni 2011

تعليم اللغة العربية لغير الناطقين بِها

تعليم اللغة العربية لغير الناطقين بِها
مفهـــوم اللغــــة :
يعتبر( الروسان،  1998) اللغة وسيلة أساسية من وسائل الاتصال الاجتماعي، وخاصة في التعبير عن الذات وفهم الآخرين ووسيلة مهمة من وسائل النمو العقلي والمعرفي والانفعالي
 تعـــــريف اللغة :
 
هي نظام من الرموز المتفق عليها والتي تمثل المعاني المختلفة والتي تسير وفق قواعد معينة.
 أقسام اللغة من حيث طبيعتها :
1.  اللغة الاستقبالية:
وهي تلك اللغة التي تتمثل في قدرة الفرد على سماع اللغة وفهمها وتنفيذها دون نطقها .
اللغة التعبيرية :
هي تلك اللغة التي تتمثل في قدرة الفرد على نطق اللغة وكتابة اللغة ولغة الإشارة. ( الروساء،2002)[1]

Selasa, 21 Juni 2011

komentar tentang UU IT dan pornografi

UU  TENTANG PORNOGRAFI
Pasal 6
Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki,
atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1),
kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.

KOMENTAR;
pada pasal ini telah jelas bahwa mendengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki atau menyimpan produk yang berbau ponografi baik berupa gambar,suara.video dan semua yang telah d sebutkan dalam UU pornografi di larang ..
tapi seperti dalam kasus yang serontak pernah ramai d bicarakan masyarakat yakni; kasus Ariel, Luna, Cut tari baru ini kurang mendapatkan hukuman atau sanksi hukum yang seharusnya....  karena nyatanya hukuman perdata baru di sandang oleh Ariel tapi pelaku-pelaku lainya masih bisa mnghirup udara luar....
UU yang ada masih perlu di rekonstruksi ulang karena dalam kasus di atas contohnya,pelaku yang lain masih bebas karena  berkelit bahwa UU yang bersangkutan hanya berlaku pada tahunnya sementara kejadian tersebut sudah terjada beberapa tahun yang lalu....

Senin, 20 Juni 2011

DENDANG CINTA PARA SUFI

DENDANG CINTA SANG SUFI
            Banyak orang yang bertutur dan berkisah tentang cinta. Ada yang mengatakan bahwa cinta berawal dari pandangan mata dan menumbuhkan rasa yang begitu indah. Ada juga yabg menyatakan bahwa cinta adalah term yang berarti gejolak jiwa dan perasaan yang menggelora tatkala disaput oleh kerinduan,serta hasrat kuat untuk bersua dengan yang dicinta. Jika cinta bersemi dan tertanam kokoh di relung kalbu, maka kerinduan, kasih sayang, kebahagiaan kerap menjadi senyum indah yang senantiasa menghias wajah.

ANALISIS BAHASA

ANALISIS BAHASA
 PENGANTAR DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR
DARI SEGI FILSAFAT BAHASA DAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN
A.    Peran Bahasa dalam Proses Belajar Mengajar           
Bahasa adalah lambang bunyi yang arbiter, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama dan berinteraksi.[1] Sedangkan proses belajar mengajar merupakan proses penyampaian informasi, pesan, materi pelajaran dari sumber belajar kepada peserta didik. Dalam proses belajar mengajar bahasa mempunyai peran yang sangat penting,yakni sebagai media dan kunci utama suksesnya  penyampaian pelajaran itu sendiri.
B.     Analisis dari Segi Filsafat Bahasa
Dalam analisis bahasa dari segi filsafat bahasa ini, saya mengkutip teori Permainan bahasa dari Ludwig Wittgenstein dan teori Tindak tutur oleh John L. Austin.
1.      Teori permainan bahasa Ludwig Wittgenstein
Teori kedua Wittgenstein memuat tentang teori makna dalam penggunaan (meaning in use) dan permainan bahasa (language game). Makna kalimat adalah tergantung penggunaannya dalam bahasa, sedangkan makna bahasa tergantung pengunaannya dalam kehidupan sehari-hari.
Mengenai permaian bahasa (language game), Wittgenstein mengatakan bahwa kita harus melihat, membaca dan memahami suatu bahasa dalam konteks masing-masing, yang artinya ada aturan atau norma dalam mengunakan bahasa di berbagai bidang kehidupan. Contoh di bidang pembelajaran, ketika mengawali pelajaran seorang guru biasanya hanya memulai dengan mengucapkan ” Selamat pagi… tugasnya kemarin yang selesai kumpulkan di depan..!!”atau langsung mengatakan “ buka bukunya…!!”, kata-kata ini terkesan monoton dan kaku, pesertra didik pun akan menjadi kurang semangat memulai pelajaran. Hal ini akan berbeda jika kita mencoba merubahnya dengan mengunakan teori permainan bahasa,”Selamat pagi anak-anak… siap untuk memulai pelajaran dan membuka jendela dunia…..!!!”, kata-kata ini akan menciptakan semangat dan motivasi, serta suasana kelas yang kondusif untuk memulai pelajaran.

Selasa, 17 Mei 2011

TIPS HIDUP LEBIH INDAH

Siapa yang tak menginginkan hidupnya indah?
Hmmmm.... Exacly no one...
Setiap orang di dunia pasti menginginkan hidupnya bahagia dan lebih indah. Terutama kaum Hedonis yang berprinsip "Hidup itu , muda foya-foya.. tua kaya raya. mati masuk surga..".. BUT IT'S IMPOSIMBLE...
DON'T TRY IT AT HOME..(he he he). jika ingin lebih baik ya jelas butuh usaha. Ok simak tips hidup lebih indah berikut :
The first : SAPA DUNIA..
awali hari dengan Basmallah
buka jendelah coba tersenyumlah secerah dan sehangat senyuman mentari pagi kepadamu.Ciptakan semangat baru tuk sambut harimu. mulai dengan sapa keluarga, tetangga,serta sahabat-sahabatmu " Tabassamuka fi Wajhi Akhuka Shodaqotan", tapi jgn keterlaluan juga yang ada semua kabur karena takut(dikira ORGIL alias orang gila)
Secondly : BERSYUKURLAH...
hidup itu lebih indah jika kita mampu mensyukuri apa yang telah kita dapatkan..
afwan TO BE CONTINUE....

Selasa, 10 Mei 2011

PERKEMBANGAN IPTEK di INDONESIA

Ilmu pengetahuan muncul sebagai akibat dari aktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia,baik kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat bisa di pisahkan dari lembaga pendidikan. Dimana pada abad 20 peran ilmu pengetahuan dan teknologi sangat berarti bagi lembaga pendidikan. Sehingga pada abad 20 mampu mendorong lebih cepat dalam industri. Informasi,komunikasi,transportasi dan pertanian.

MEDIA AUDIO VISUAL

Tahun 1970 ditemukan teknologi CCD (Charged Caupled Device) oleh Boyle dan Smith tersebut akan menjadi tonggak yang mempercepat perkembangan teknologi penangkap gambar diam maupun gambar gerak. Kamera foto dan kamera video berkembang sangat pesat berkat penemuan tersebut. Akhirnya hanya tinggal teknik lensa saja yang hampir tidak berubah.
Media penyimpan mengalami perkembangan dan melahirkan banyak varian, di antaranya dalam bentuk pita (cassete), cakram (disk), dan memori chip. Dengan demikian sinematografi tidak lagi identik dengan media penyimpan fim/selluloid. Masyarakat mulai risih menyebut gambar hasil tangkapan dengan teknik sinematografi sebagai film karena media penyimpannya memang bukan lagi film. Lalu, apa nama pengganti yang sesuai? Muncullah istilah media audio-visual. CCD yang jauh lebih murah dibanding tabung citra vidicon juga menyebabkan harga kamera menjadi murah, dengan demikian penyebarannya menjadi lebih pesat. Memasyarakatnya kamera video menyebabkan semakin banyaknya objek yang bias dikemas menjadi tayangan video. Dulu hanya film dalam arti film cerita saja yang merupakan karya sinematografi, sekarang berbagai dokumentasi dapat dikemas menjadi tayangan video, dan semua itu memerlukan teknik sinematografi. Fenomena ini mengokohkan penggunaan istilah media audio-visual untuk karya-karya sinematografi.

PENGERTIAN MEDIA PEMBELAJARAN

Kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi (Sadiman,2002:6).

Latuheru(1988:14), menyatakan bahwa media pembelajaran adalah bahan, alat, atau teknik yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar dengan maksud agar proses interaksi komunikasi edukasi antara guru dan siswa dapat berlangsung secara tepat guna dan berdaya guna.

PSIKOLINGUISTIK

MAKSUD PSIKOLINGUISTIK
Pisikolinguistik adalah pendekatan gabungan melalui psikologi dan linguistik bagi telaah atau studi pengetahuan bahasa, bahsa dalam pemakaian, perobahan bahasa, dan hal-hal yang ada kaitannya dangan itu yang tidak begitu mudah dicapai atau didekati melalui salah satu dari kedua ilmu tersebut secara terpisah atau sendiri-sendiri antara psikologi dan linguistik.
Pisikolinguistik adalah suatu inlu yang meneliti bagaimana para pemakai suatu bahasa mengerti kalimat tersebut. Psikolinguistik, sebagaimana tertera pada istilah ini, adalah ilmu gabungan antara dua ilmu: psikologi dan linguistik. Benih ilmu ini sebenarnya sudah tampak pada permulaan abad ke-20 tatkala sarjana psikologi Jerman Wilhelm Wundt menyatakan bahawa bahasa dapat dijelaskan dengan dasar prinsip-prinsip psikologis. Pada waktu itu kajian bahasa mula mengalami perubahan daripada sifatnya yang estetik dan kultural ke suatu pendekatan yang “ilmiah.”

Sumber: http://id.shvoong.com/books/guidance-self-improvement/1965993-maksud-psikolinguistik/#ixzz1LwHMgvYB

Sejarah Perkembangan Ilmu Bahasa

Sejarah Perkembangan Ilmu Bahasa
Ilmu bahasa yang dipelajari saat ini bermula dari penelitian tentang bahasa sejak zaman Yunani (abad 6 SM). Secara garis besar studi tentang bahasa dapat dibedakan antara (1) tata bahasa tradisional dan (2) linguistik modern.
a. Tata Bahasa Tradisional
Pada zaman Yunani para filsuf meneliti apa yang dimaksud dengan bahasa dan apa hakikat bahasa. Para filsuf tersebut sependapat bahwa bahasa adalah sistem tanda. Dikatakan bahwa manusia hidup dalam tanda-tanda yang mencakup segala segi kehidupan manusia, misalnya bangunan, kedokteran, kesehatan, geografi, dan sebagainya. Tetapi mengenai hakikat bahasa – apakah bahasa mirip realitas atau tidak – mereka belum sepakat. Dua filsuf besar yang pemikirannya terus berpengaruh sampai saat ini adalah Plato dan Aristoteles.
Plato berpendapat bahwa bahasa adalah physei atau mirip realitas; sedangkan Aristoteles mempunyai pendapat sebaliknya yaitu bahwa bahasa adalah thesei atau tidak mirip realitas kecuali onomatope dan lambang bunyi (sound symbolism). Pandangan Plato bahwa bahasa mirip dengan realitas atau non-arbitrer diikuti oleh kaum naturalis; pandangan Aristoteles bahwa bahasa tidak mirip dengan realitas atau arbitrer diikuti oleh kaum konvensionalis. Perbedaan pendapat ini juga merambah ke masalah keteraturan (regular) atau ketidakteraturan (irregular) dalam bahasa. Kelompok penganut pendapat adanya keteraturan bahasa adalah kaum analogis yang pandangannya tidak berbeda dengan kaum naturalis; sedangkan kaum anomalis yang berpendapat adanya ketidakteraturan dalam bahasa mewarisi pandangan kaum konvensionalis. Pandangan kaum anomalis mempengaruhi pengikut aliran Stoic. Kaum Stoic lebih tertarik pada masalah asal mula bahasa secara filosofis. Mereka membedakan adanya empat jenis kelas kata, yakni nomina, verba, konjungsi dan artikel.

Senin, 09 Mei 2011

DIGLOSIA

DEFINISI DIGLOSIA
Jika dalam bahasa Indonesia hanya terdapat satu ragam baku,maka dalam bahasa tertentu ditemukan situasi yang berbeda yang di dalamnya terdapat dua ragam baku yang sama-sama diakui dan dihormati .Hal tersebut biasa disebut sebagai diglosia.Diglosia adalah sejenis pembakuan bahasa yang khusus ketika dua ragam bahasa berada berdampingan di dalam keseluruhan masyarakat bahasa dan masing-masing ragam bahasa itu diberi fungsi social tertentu.pembahasan diglosia berkenaan dengan pemakaian ragam bahasa rendah (ditandai dengan R)dan ragam bahasa tinggi (ditandai dengan T) dalam suatu kelompok masyarakat .
Ciri-ciri situasi diglosia yang paling penting adalah pengkhususan fungsi masing-masing ragam bahasa. Ragam bahasa tinggi khusus digunakan dalam situasi-situasi formal seperti kegiatan keagamaan, pidato-pidato, kuliah, siaran berita, atau pada tajuk rencana dalam surat kabar. Sebaliknya, ragam bahasa rendah biasa digunakan dalam situasi-situasi santai seperti percakapan sehari-hari dalam keluarga, antara teman, cerita bersambung dalam radio, atau dalam sastra rakyat.

BILINGUALISME

BILINGUALISME
A.Arti Bilingualisme ( Kedwibahasaan)
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dari istilahnya secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosialinguistik secara umum, bilinguslisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey 1962:12, Fishman1975:73)
Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2).
Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan). Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasawanan). Selain istilah bilingualisme dengan segala jabarannya ada juga istilah multilingualisme (dalam bahasa Indonesia disebut juga keanekabahasaan) yakni keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Definisi Kedwibahasaaan
Telah diketahui bahwa secara harfiah kedwibahasaan adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian. Dibawah ini adalah pendapat-pendapat atau definisi tantang kedwibahasaan oleh para pakar ahlinya. Menurut para pakar kedwibahasaan didefinisikan sebagai berikut:
1. Robert Lado (1964-214)
Kedwibahasaan merupakan kemampuan berbicara dua bahasa dengan sama atau hampir sama baiknya. Secara teknis pendapat ini mengacu pada pengetahuan dua bahasa, bagaimanapun tingkatnya .
2. MacKey (1956:155)
Kedwibahasaan adalah pemakaian yang bergantian dari dua bahasa. Merumuskan kedwibahasaan sebagai kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih oleh seseorang (the alternative use of two or more languages by the same individual). Perluasan pendapat ini dikemukakan dengan adanya tingkatan kedwibahasaan dilihat dari segi penguasaan unsur gramatikal, leksikal, semantik, dan gaya yang tercermin dalam empat keterampilan berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Pada pembahasan ini, selanjutnya kita akan membahas pendapat yang dikemukakan oleh Mackey yang menyebutkan bahwa dalam membicarakan kedwibahasaan tercakup beberapa pengertian, seperti masalah tingkat, fungsi, pertukaran atau alih kode, percampuan atau campur kode, interferensi, dan integrasi.
Pertama, masalah tingkat kaitannya adalah dengan sejauh mana sesorang mampu menjadi seorang dwibahasawan atau sejauh mana seseorang mampu mengetahui bahasa yang dipakainya. Masalah tingkat dalam pembahasan bilinguaisme menurut Alwasilah (1990:125) berkaitan dengan tingkat kemampuan berbahasa seseorang. Kemampuan berbahasa seseorang akan nampak dari empat keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Menurutnya, dalam keempat keterampilan tersebut akan mencakup fonologi, gramatik, leksis, semantik, dan stailistik. Jika diambil kesimpulan, masalah tingkat ini adalah masalah yang berkaitan dengan pemahaman dan pengetahuan seseorang terhadap bahasa yang dipakainya.
Kedua, fungsi kaitannya dengan pengertian untuk apa seseorang menggunakan bahasa dan apa peranan bahasa dalam kehidupan pelakunya. Hal ini berkaitan dengan kapan seseorang yang bilingual menggunakan kedua bahasanya secara bergantian. Masalah fungsi ini menyangkut masalah pokok sosiolinguistik yaitu siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa (Chaer, 2004:88). Penggunaan bahasa pertama oleh seorang penutur, misalnya bahasa pertamanya bahasa Sunda, hanya akan digunakan dengan semua anggota masyarakat tutur yang menggunakan bahasa Sunda pula. Penggunaan bahasa pertama tersebut juga akan terbatas hanya pada situasi-situasi tertentu, misalnya ketika dalam percakapan sehari-hari dalam ruang lingkup keluarga dan untuk membicarakan hal-hal yang bersifat biasa. Namun, dalam situasi-situasi tertentu pula bahasa pertama tidak dapat digunakan. Misalnya dalam kegiatan pendidikan di sekolah, walaupun guru dan murid menggunakan B1 yang sama (misalnya Bahasa Jawa), akan tetapi dalam hal ini hanya bahasa Indonesialah yang dapat digunakan, sebab bahasa Indonesia yang menjadi bahasa kedua guru dan murid tersebut merupakan bahasa nasional yang berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan.
Ketiga, pertukaran atau alih kode adalah sampai seberapa luaskah seseorang dapat mempertukarkan bahasa-bahasa itu dan bagaimana seseorang dapat berpindah dari satu bahasa ke bahasa lain.
Keempat, campur kode terjadi bilamana seseorang mencampurkan dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu situasi berbahasa yang menuntut percampuran bahasa. Pertukaran atau alih kode biasanya selalu berkaitan dengan percampuran atau campur kode. Campur kode biasanya terjadi dalam situasi-situasi yang santai atau nonformal. Dalam situasi berbahasa yang formal jarang terjadi campur kode, kalaupun terjadi campur kode itu hanya sebagai akibat tidak adanya padanan yang tepat dalam bahasa yang sedang digunakan.
Kelima, interferensi adalah bagaimana seseorang yang menganut bilingualisme menjaga bahasa-bahasa itu sehingga terpisah dan seberapa jauh seeorang itu mampu mencampuradukkan serta bagaimana pengaruh bahasa yang satu dalam penggunaan bahasa lainnya. Interferensi berarti adanya saling mempengaruhi antarbahasa. Interferensi bisa terjadi pada pengucapan, tata bahasa, kosakata dan makna bahkan budaya – baik dalam ucapan maupun tulisan – terutama kalau seseorang sedang mempelajari bahasa kedua (Alwasilah, 1990:131). Ciri yang menonjol dalam interferensi adalah peminjaman kosakata dari bahasa lain, alasannya adalah perlunya kosakata untuk mengacu pada obyek, konsep, atau tempat baru. Maka, meminjam kosakata dari bahasa lain akan lebih mudah daripada menciptakan kosakata baru. Hanya saja, kosakata-kosakata hasil pinjaman yang biasa dipakai dalam bahasa Indonesia telah disesuaikan ejaannya dengan ejaan bahasa Indonesia.
Keenam, integrasi terjadi apabila unsur serapan dari suatu bahasa telah dapat menyesuaikan diri dengan sistem bahasa penyerapnya shingga pemakaiannya telah menjadi umum karena tidak lagi terasa asing. Pengintegrasian unsur serapan ke dalam suatu bahasa tidak sama pada setiap wilayah. Adakalanya integrasi hanya terjadi pada suatu dialek, bahkan adakalanya integrasi itu terjadi pada sebuah desa asalkan unsur tersebut menunjukkan ciri-ciri integrasi. Istilah integrasi ini sama halnya dengan istilah konvergensi menurut Alwasilah (1990:134). Ia mengutip pengertian konvergensi dari Webster’s New Collegiate Dictionary sebagai ‘kegiatan bertemu dan terutama bergerak menuju kesatuan dan keseragaman’. Konvergensi ini sebagai tindak lanjut dari interferensi. Apabila kosakata hasil pinjaman tersebut sudah disetujui, ini berarti kata-kata itu telah dikonversi ke dalam bahasa baru, yaitu telah bertemu dan masuk ke dalam bahasa baru.

3. Hartman dan Stork (1972:27)
Kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa oleh seorang penutur atau masyarakat ujaran.
4. Bloomfield (1958:56)
Kedwibahasaan merupakan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa yang sama baiknya oleh seorang penutur. Merumuskan kedwibahasaan sebagai penguasaan yang sama baiknya atas dua bahasa atau native like control of two languages berarti setiap bahasa dapat digunakan dalam setiap keadaan dengan kelancaran dan ketepatan yang sama seperti bahasa pertama yang digunakan penuturnya.Penguasaan dua bahasa dengan kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penutur asli sangatlah sulit diukur.
5. Haugen (1968:10)
Kedwibahasaan adalah tahu dua bahasa. Jika diuraikan secara lebih umum maka pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik secara produktif maupun reseftif oleh seorang individu atau oleh masyarakat. Mengemukakan kedwibahasaan dengan tahu dua bahasa (knowledge of two languages), cukup mengetahui dua bahasa secara pasif atau understanding without speaking.
6. Oksaar
Berpendapat bahwa kedwibahasaan bukan hanya milik individu,namun harus diperlakukan sebagai milik kelompok.sehingga memungkinkan adanya masyarakat dwibahasawan. Hal ini terlihat di Belgia menetapkan bahasa Belanda dan Prancis sebagai bahasa negara. filandia dengan bahasa Finddan bahasa swedia.Di Montreal kanada,bahasa inggris dan Perancis dipakai secara bergantianoleh warganya,sehingga warga montreal dia dianggap sebagai masyarakat kedwibahasaan murni.jadi dapat diambil kesimpulan dari definisi-definisi di atas bahwa kedwibahasaan berhubungan erat dengan pemakaian dua bahasa atau lebih oleh seorang dwibahasawan atau masyarakat dwibahasawan secara bergantian. Pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik secara produktif maupun reseftif oleh seorang individu atau oleh masyarakat.
Adapun beberapa jenis pembagian kedwibahasaan berdasarkan tipologi kedwibahasaan, yaitu :
 Kedwibahasaan Majemuk (compound bilingualism)
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa salah satu bahasa lebih baik dari pada kemampuan berbahasa bahasa yang lain. Kedwibahasaan ini didasarkan pada kaitan antara B1 dengan B2 yang dikuasai oleh dwibahasawan. Kedua bahasa dikuasai oleh dwibahasawan tetapi berdiri sendiri-dendiri.
 Kedwibahasaan Koordinatif / sejajar.
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa sama-sama baik oleh seorang individu. Kedwibahasaan seimbang dikaitkan dengan taraf penguasaan B1 dan B2. Orang yang sama mahirnya dalam dua bahasa.
 . Kedwibahasaan Sub-ordinatif (kompleks)
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering memasukkan B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan ini dihubungkan dengan situasi yang dihadapi B1. Adalah sekelompok kecil yang dikelilingi dan didominasi oleh masyarakat suatu bahasa yang besar sehinga masyarakat kecil ini dimungkinkan dapat kehilangan B1-nya.


Ada beberapa pendapat lain oleh pakar kedwibahasaan dalam tipologi kdwibahasaan diantaranya adalah:
1. Baeten Beardsmore (1985:22)
Menambahkankan satu derajat lagi yaitu kedwibahasaan awal (inception bilingualism) yaitu kedwibahasan yang dimemiliki oleh seorang individu yang sedang dalam proses menguasai B2.
2. Menurut Pohl (dalam Baetens Beardmore, 1985;5)
Tipologi bahasa lebih didasarkan pada status bahasa yang ada didalam masyarakat, maka Pohl membagi kedwibahasaan menjadi tiga tipe yaitu:
 Kedwibahasaan Horisontal (horizontal bilingualism)
Merupakan situasi pemakaian dua bahasa yang berbeda tetapi masing-masing bahasa memiliki status yang sejajar baik dalam situasi resmi, kebudayaan maupun dalam kehidupan keluarga dari kelompok pemakainya.
 Kedwibahasaan Vertikal (vertical bilinguism)
Merupakan pemakaian dua bahasa apabila bahasa baku dan dialek, baik yang berhubungan ataupun terpisah, dimiliki oleh seorang penutur.
 . Kedwibahasaan Diagonal (diagonal bilingualism)
Merupakan pemakaian dua bahasa dialek atau tidak baku secara bersama-sama tetapi keduanya tidak memiliki hubungan secara genetik dengan bahasa baku yang dipakai oleh masyarakat itu.
3. Menurut Arsenan (dalam Baerdsmore, 1985)
Tipe kedwibahasaan pada kemampuan berbahasa, maka ia mengklasifikasikan kedwibahasaan menjadi dua yaitu:
a. Kedwibahasaan produktif (productive bilingualism) atau kedwibahasaan aktif atau kedwibahasaan simetrik (symmetrical bilingualism) yaitu pemakaian dua bahasa oleh seorang individu terhadap seluruh aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis)
b. Kedwibahasaan reseptif (reseptive bilingualism) atau kedwibahasaan pasif atau kedwibahasaan asimetrik (asymetrical bilingualism).

TEORI PERKEMBANGAN J.BRUNER

TEORI PERKEMBANGAN MENURUT J.BRUNER

Jerome Bruner dilahirkan dalam tahun 1915. Jerome Bruner, seorang ahli psikologi yang terkenal telah banyak menyumbang dalam penulisan teori pembelajaran, proses pengajaran dan falsafah pendidikan.
Teori belajar bruner dikenal oleh tiga tahapan belajarnya yang terkenal, yaitu enaktif, ikonik dan simbolik. Pada dasarnya setiap individu pada waktu mengalami atau mengenal peristiwa yang ada di dalam lingkungannya dapat menemukan cara untuk menyatakan kembali peristiwa tersebut di dalam pikirannya, yaitu suatu model mental tentang peristiwa yang dialaminya. Hal tersebut adalah proses belajar yang terbagi menjadi tiga tahapan, yakni:
(1) Tahap enaktif, dalam tahap ini peserta didik di dalam belajarnya menggunakan atau memanipulasi obyek-obyek secara langsung.Pengatahuan diberikan terlebih dahulh kemudian peserta didik dituntut aktif dengan melakukan praktik .
(2) Tahap ikonik, pada tahap ini menyatakan bahwa kegiatan anak-anak mulai menyangkut mental yang merupakan gambaran dari obyek-obyek. Dalam tahap ini, peserta didik tidak memanipulasi langsung obyek-obyek, melainkan sudah dapat memanipulasi dengan menggunakan gambaran dari obyek. Pengetahuan disajikan oleh sekumpulan gambar-gambar yang mewakili suatu konsep (Sugandi, 2004:37).
(3) Tahap simbolik, tahap ini anak memanipulasi simbol-simbol secara langsung dan tidak ada lagi kaitannya dengan objek-objek. Anak mencapai transisi dari pengguanan penyajian ikonik ke penggunaan penyajian simbolik yang didasarkan pada sistem berpikir abstrak dan lebih fleksibel. Dalam penyajian suatu pengetahuan akan dihubungkan dengan sejumlah informasi yang dapat disimpan dalam pikiran dan diproses untuk mencapai pemahaman.
Bruner bersetuju dengan Piaget bahwa perkembangan kognitif kanak-kanak adalah melalui peringkat-peringkat tertentu. Salah satu bukti setujunya Bruner dengan Pieget yakni adanya pendirian Bruner, bahwa setiap mata pelajaran dapat diajarkan dengan efektif dalam bentuk jujur secara intelektual kepada setiap anak dalam setiap tingkat perkembangannya.Pendiriannya ini didasarkannya sebagian besar atas penelitian Jean Pieget tentang perkembangan intelektual anak(Nasution,1982:6). Walau bagaimanapun, Bruner lebih menegaskan pembelajaran secara penemuan yaitu mengolah apa yang diketahui pelajar itu kepada satu corak dalam keadaan baru (lebih kepada prinsip konstruktivisme).

PERBEDAAN INDIVIDUAL DALAM PERKEMBANGAN BAHASA

PERBEDAAN INDIVIDUAL DALAM PERKEMBANGAN BAHASA
Pada tahun 1970-an penelitian-penelitian pekembangan bahasa lebih mengarah kepada pentingnya perbedaan individual dalam perkembangan bahasa dan menegaskan bahwa perbedaan individual dalam tidak hanya pada banyaknya penguasaan kosakata atau mufrodat melainkan juga dalam arah, bentuk, atau pola perkembangan bahasa. Sesungguhya anak–anak belajar bahasa dengan berbagai cara dan bervariasi bukan dengan cara yang seragam.
Nelson adalah orang pertama yang mengidentifikasi pentingnya perbedaan individu dalam bentuk perkembangan bahasa. Menurut Nelson, anak umur 1-2,5 tahun umumnya menguasai sekitar 50 kata, namun sesungguhya pada anak-anak itu terjadi perbedaan kata-kata dan frasa yang mereka hasilkan. Sebagian besar dari mereka belajar bahasa dalam bentuk yang disebut dengan istilah ”gaya refensial (refensial style)” (Berk,1989). Kosakata awal yang mereka kuasai sebagian besar adalah /اسمkata benda (nama-nama benda yang sangat mereka kenal, seperti; :كرّةbola,كرسيٌّ:kursi ) serta sebagian kecil/فعل kata kerja dan /نعتkata sifat. Sementara itu, ada sebagian kecil dari mereka belajar bahasa dalam bentuk yang disebut dengan istilah “gaya ekspresif (expressive style)” (Berk, 1989). Berbeda dengan gaya referensial, anak-anak ini lebih banyak mengunakan kata ganti benda (pronouns) dan kondisi-kondisi sosial (seperti: ”:أريد ذلك !saya mau itu! ”, :ما يريد !"apa yang kamu inginkan ! ”,dan sejenisnya). Hanya sebagian kecil /اسمkata benda, /نعتkata sifat yang meraka gunakan.
Lebih lanjut Nelson (Bretherton et al.,1982) mengatakanbahwa ada dua tipe perkembangan anak dalam pengusaan bahasa.
1. Anak yang bertipe referensial cenderung berpandangan bahwa sebagian besar bahasa digunakan untuk membicarakan benda-benda.
2. Anak yang bertipe ekspresif cenderung berpandangan bahwa sebagian besar bahasa digunakan untuk membicarakan dirinya dan orang lain sekaligus untuk mengekspresikan perasaan, kebutuhan, dan kondisi sosial lainnya.
Gaya anak dalam mempelajari bahasa, baik yang tipe referensial atau ekspresif, berkaitan dengan aspek-aspek lain dari perkembangan bahasanya dan dapat dijelaskan berikut ini.
1. Anak-anak yang bertipe ekspresif cenderung menggunakan kata ganti kata benda (pronouns) dalam membuat kalimat, sedangkan anak-anak yang bertipe referensial cenderung menunjukkan kemampuan mengartikulasikan kalimat dengan lebih jelas dan penguasaan kosakatanya cenderung lebih cepat.
2. Anak-anak yang bertipe referensial cenderung mengatakan benda-benda dalam bentuk kalimat dengan menggunakan label-label. Anak-anak yang bertipe ekspresif cenderung mampu mengatakan dalam bentuk kalimat dengan menggunakan frasa-frasa sosial.
Pembahasan di atas memberikan kejelasan bahwa perkembangan bahasa dipengaruhi oleh faktor-faktor bawaan dan lingkungan. Karena factor-faktor bawaan dan lingkungan individu itu bervariasi, penggaruhya terhadap perkembangan bahasa juga bervariasi. Akibatnya, akan sangatmungkin antara individuyang satu dengan individu yang lainnya berbeda kemampuan bahasanya.
Perbedaan individu pada setiap kemampuan berbahasa akan meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Semakin bertambah usia, semakin luas dan bervariasinya lingkungan hidup dan lingkungan pergaulan. Akibatnya, tidak hanya akan semakin kompleks dari usia sebelumnya tetapi juga semakin semakin berbeda dengan individu lain. Perluasan dan kompleksitas interaksi dengan lingkungan akan sangat mewarnai perkembangan kemakpuan bahasanya (Neugarten, 1976).

AL-FARABI


AL-FARABI

  1. BIOGRAFI AL-FARABI
Abū Nasir Muhammad bin al-Farakh al-Fārābi (870-950, Bahasa Persia: محمد فارابی ) singkat Al-Farabi adalah ilmuwan dan filsuf Islam yang berasal dari Farab, Kazakhstan. Ia juga dikenal dengan nama lain Abū Nasir al-Fārābi (dalam beberapa sumber ia dikenal sebagai Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzalah Al- Farabi , juga dikenal di dunia barat sebagai Alpharabius, Al-Farabi, Farabi, dan Abunasir. Latar belakang keluarga Al-Farabi adalah keturanan Persia (kendatipun nama kakek dan nama kakek buyutnta jelas mannjukkan nama turki) yang mengabdi kepada pangeran-pangeran Dinasti Samaniyyah. Kemungkinan masuknya keluarga ini ke dalam Islam, terjadi pada masa hidup kakeknya,Tarkhan. Peristiwa ini kira-kira bersamaan dengan peristiwa penakhlukan dan islamisasi atas Farab oleh Dinasti Samaniyyah pada 839-840M.[1] Sedangkan ibunya berdarah Turki asli.

Sejak dini ia digambarkan memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari. Pada masa awal pendidikannya ini, al-Farabi belajar al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmatika dasar. Al-Farabi muda belajar ilmu-ilmu islam dan musik di Bukhara, dan tinggal di Kazakhstan sampai umur 50. Ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu di sana selama 20 tahun. Setelah kurang lebih 10 tahun tinggal di Baghdad, yaitu kira-kira pada tahun 920 M, al Farabi kemudian mengembara di kota Harran yang terletak di utara Syria, dimana saat itu Harran merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil. Ia kemudian belajar filsafat dari Filsuf Kristen terkenal yang bernama Yuhana bin Jilad.[2] Tahun 940M, al Farabi melajutkan pengembaraannya ke Damaskus dan bertemu dengan Sayf al Dawla al Hamdanid, Kepala daerah (distrik) Aleppo, yang dikenal sebagai simpatisan para Imam Syi’ah. Kemudian al-Farabi wafat di kota Damaskus pada usia 80 tahun (Rajab 339 H/ Desember 950 M) di masa pemerintahan Khalifah Al Muthi’ (masih dinasti Abbasiyyah). Al-Farabi adalah seorang komentator filsafat Yunani yang ulung di dunia Islam. Meskipun kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia mengenal para filsuf Yunani; Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan baik. Kontribusinya terletak di berbagai bidang seperti matematika, filosofi, pengobatan, bahkan musik. Al-Farabi telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah buku penting dalam bidang musik, Kitab al-Musiqa. Selain itu, ia juga dapat memainkan dan telah menciptakan bebagai alat musik. Al-Farabi dikenal dengan sebutan "guru kedua" setelah Aristoteles, karena kemampuannya dalam memahami Aristoteles yang dikenal sebagai guru pertama dalam ilmu filsafat. Dia adalah filsuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu. Al-Farabi hidup pada daerah otonomi di bawah pemerintahan Sayf al Dawla dan di zaman pemerintahan dinasti Abbasiyyah, yang berbentuk Monarki yang dipimpin oleh seorang Khalifah.[3] Ia lahir dimasa kepemimpinan Khalifah Mu’tamid (869-892 M) dan meninggal pada masa pemerintahan Khalifah Al-Muthi’ (946-974 M) dimana periode tersebut dianggap sebagai periode yang paling kacau karena ketiadaan kestabilan politik. Dalam kondisi demikian, al-Farabi berkenalan dengan pemikiran-pemikiran dari para ahli Filsafat Yunani seperti Plato dan Aristoteles dan mencoba mengkombinasikan ide atau pemikiran-pemikiran Yunani Kuno dengan pemikiran Islam untuk menciptakan sebuah negara pemerintahan yang ideal (Negara Utama). [4]
B.KARYA-KARYA AL-FARABI
            Banyak karya yang telah di hasilkan oleh Al-Farabi.Dari bidang Ilmu Pengetahuan, karya-karya Al-Farabi di kelompokan menjadi 6:
1.Logika
2.Ilmu-ilmu Matematika
3.Ilmu Alam
4.Teologi
5.Ilmu Politik dan kenegaraan
6.Bunga rampai (Kutub Munawwa’ah).
            Menurut salah satu kajian, sebagian besar karyanya difokuskan pada kajian mengenai logika (sekitar empat puluh judul). Karya yang lain meliputi cabang filsafat lain,yakni fisika atau filsafat alam (natural philosophy),di bidang musik Musiqo Al-Kabir,di bidang metafisika Al-Jam’ bain ra’yai al-hakimah wa aristuthalis[5]. Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau Negara Utama) yang membahas tetang pencapaian kebahagian melalui kehidupan politik dan hubungan antara rejim yang paling baik menurut pemahaman Plato dengan hukum Ilahiah islam. Filsafat politik Al-Farabi, khususnya gagasannya mengenai penguasa kota utama mencerminkan rasionalisasi ajaran Imamah dalam Syi'ah.
C. PEMIKIRAN AL-FARABI
Manusia menurut Farabi memiliki potensi untuk menerima bentuk-bentuk pengetahuan yang terpahami (ma’qulat) atau universal-universal. Potensi ini akan menjadi aktual jika ia disinari oleh Intelek Aktif.[6] Pencerahan oleh Intelek Aktif memungkinkan transformasi serempak intelek potensial dan obyek potensial ke dalam aktualitasnya. Al-Farabi menganalogkan hubungan antara akal potensial dengan Akal Aktif seperti mata dengan matahari. Mata hanyalah kemampuan  potensial  untuk melihat selama dalam kegelapan, tapi dia menjadi aktual ketika menerima sinar matahari. Bukan hanya obyek-obyek indrawi saja yang bisa dilihat, tapi juga cahaya dan matahari yang menjadi sumber cahaya itu sendiri.Di samping itu, intelek manusia sendiri memiliki apa yang disebut dengan pengetahuan primer. Pengetahuan primer ada dengan sendirinya dalam intelek manusia dan kebenarannya tidak lagi membutuhkan penalaran sebelumnya. Pengetahuan ini misalnya bahwa tiga adalah angka ganjil atau bahwa keseluruhan lebih besar dari bagiannya.Intelek potensial yang sudah disinari akan berubah menjadi bentuk yang sama dengan pengetahuan primer yang diterimanya sebagai bentuk tersebut. Untuk menggambarkan proses ini, al-Farabi menganalogkan dengan sepotong benda yang masuk ke dalam lilin cair, benda terseut tidak hanya tercetak pada lilin, tapi ia juga merubah lilin cair tersebut menjadi sebuah citra utuh benda itu sendiri sehingga ia menjadi satu. Atau, bisa juga dianalogkan dengan sepotong kain yang masuk ke dalam zat pewarna. Perolehan aktualitas oleh akal potensial  menjadi sempurna jika proses ini tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan primer, tapi juga dengan pengetahuan yang diupayakannya. Pada tahap ini, intelek aktual merefleksikan dirinya sendiri. Kandungan intelek aktual adalah pengetahuan murni. Intelek aktual dapat mengetahui dirinya sendiri karena ia merupakan intelek sekaligus pengetahuan itu sendiri. Ketika intelek aktual sudah sampai pada tahap ini, ia menjadi apa yang disebut al-Farabi dengan intelek perolehan atau al-aql al-mustafad atau acquired intelect.Dengan demikian, intelek perolehan merujuk pada intelek aktual ketika mencapai tahap mampu memposisikan diri sebagai pengetahuan (self-intelligible) dan bisa melakukan proses pemahaman tanpa bantuan kekuatan lain (self-inttellective). Intelek perolehan adalah bentuk intelek manusia paling tinggi. Intelek perolehan adalah yang paling mirip dengan dengan Intelek Aktif karena keduanya memiliki kandungan yang sama. Di samping itu, akal perolehan juga tidak membutuhkan raga bagi kehidupannya dan tidak membutuhkan kekuatan fisik badani untuk aktifitas berpikirnya.
1.Pendidikan menurut Al-Farabi
Pendidikan bagi al-Farabi adalah sesuatu yang pantas diperjuangkan. Ia menyatakan hal ini dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi tempatnya yang masih peduli pada hal-hal mitis dan yang selalu menghindari aspek pengetahuan akal budi. Di sini, budaya Islam juga sangat kental mempengaruhi. Dalam usaha ingin memperbaiki keadaan negrinya ia melahirkan suatu ide tentang pendidikan yang didasarkan oleh filsafat Plato dan Aristoteles. Maka, al-Farabi dengan mengikuti filsafat mereka mencoba memperkenalkan metode yang menurutnya mampu membawa bangsanya keluar dari pandangan sempitnya .

Tujuan pendidikan dalam filsafat Al Farabi adalah untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan. Untuk itu tugas pendidikan adalah mempersiapkan manusia sebagai anggota yang siap terjun ke masyarakat . Persiapan ini dimulai sedari kecil sehingga di masa dewasa ia akan punya tabiat baik terutama dalam meraih kesempurnaan dan juga tujuan-tujuan yang dibuatnya. Pendidikan semacam ini, menurut al-Farabi, penting untuk jiwa manusia. Keseluruhan aktvitas pendidikan, dalam perspektif Al Farabi, merupakan peraihan nilai-nilai, pengetahuan intelektual dan keterampilan praktis, yang kemudian harus dikembangkan pada tujuannnya yaitu membawa manusia kepada kesempurnaan.
Dengan peraihan kesempurnaan, kemanusiaan tidaklah bisa dilupakan. Salah satu contoh adalah pencapaian kebahagiaan di dunia ini merupakan pencapaian tujuan di mana kebahagiaaan merupakan kesempurnaan tertinggi dan didalamnya terdapat proses memandang sesamanya secara manusiawi. Kesempurnaan manusia, menurutnya, adalah proses akhir dalam meraih nilai-nilai teoritis atau pengetahuan intelektual dan nilai-nilai praktis atau tingkah laku bermoral. Dengan usaha pencapaian kedua hal ini, individu akan bisa masuk ke dalam masyarakat dengan menjadi anggota masyarakat. Individu yang kental dengan sifat ini akan bisa menjadi teladan dan kemudian bisa menjadi seorang pemimpin. Pendidikan semacam ini juga menyangkut moral dan estetika. Hasil yang dicapai adalah satu yaitu kebahagiaan dan kebaikan. Kesempurnaan teoritis dan praktis di sini diraih di dalam masyarakat karena pemahaman kebebasan manusia itu ada setelah masyarakat. Individu memang tidak pernah berdiri sendiri melainkan mengandaikan bimbingan orang lain.
Tujuan lain dari filsafat pendidikan al-Farabi adalah pembentukan pemimpin-pemimpin politik yang handal . Dalam menuju keutuhan masyarakat memang tidak salah lagi bila dibutuhkan seorang pemimpin semacam itu. Masyarakat atau kehidupan sosial dalam konteks al-Farabi ada karena terjadi integrasi antara individu, keluarga, dan kelompok. Pemimpin politik memiliki fungsi sebagai dokter yang menyembuhkan jiwa sehingga dengan kepemimpinannya jiwa masyarakat akan selalu sehat. Seorang pemimpin diusahakan mampu menyemangati masyarakatnya untuk dapat menolong satu dengan yang lain. Terutama dalam meraih sesuatu yang baik dan menghindar dari yang jahat. Kemampuan politisnya harus digunakan untuk menjaga nilai-nilai yang mampu mengembangkan masyarakat.
Kesempurnaan masyarakat al-Farabi dapat terjadi bila ada keseimbangan moral di antara setiap masyarakat. Ketika tingkah laku moral menurun dan tidak ada kepercayaan terhadap pemimpin maka masyarakat akan menuju kepada kehancurannya. Maka, moralitas di sini menjadi dasar objektif dari pendidikan. Dengan adanya moralitas, negara bisa bertahan dan mewujudkan dirinya. Keutamaan moral, oleh al-Farabi, didefinisikan sebagai keadaan dalam pikiran yang dengannya manusia mampu melahirkan tindakan-tindakan yang sopan dan santun. Dalam filsafat al-Farabi pendidikan dijadikan proses untuk mengkombinasikan yang teoritis dan praktis tersebut. Kesempurnaan dari hal-hal tersebut merupakan tujuan akhir di mana
kebahagiaan juga eksis.
Untuk menerapkan filsafatnya dalam kehidupan sehari-hari, al-Farabi membagi tugas terhadap beberapa figur masyarakat. Misalkan seorang imam, ia memiliki tanggung jawab besar dalam pendidikan ini. Imam adalah orang yang dihormati dan diteladani maka dari itu imam memegang peranan mendidik. Kotbah sang imam harus seputar kesempurnaan moralitas, yaitu kesatuan teori dan praktek. Juga, pendidikan merupakan tanggung jawab negara sehingga negara berperanan dalam budget pendidikan. Oleh al-Farabi, budget pendidikan dalam negara diambil dari sebagian zakat dan kharaj (pajak tanah) .


            2.Metode Pembelajaran Menurut Al-Farabi
Metode pembelajaran al-Farabi tercipta dengan mengacu pada tujuan itu sendiri, yaitu untuk meraih kesempurnaan dan kebahagiaan. Tujuan ini dicapai bukan untuk kebutuhan pribadi semata melainkan untuk terciptanya masyarakat yang islami. Maka, dengan melihat ini al-Farabi percaya bahwa metode pembelajaran dengan metode instruksi dapat dikatakan sebagai metode yang baik untuk diterapkan kepada orang-orang. Namun, metode ini tidak begitu saja bisa diajarkan ke semua orang, melainkan ada levelnya yaitu level orang-orang biasa dan orang elit. Bagi orang-orang biasa, dasar metodenya adalah persuasif dan bagi orange lit adalah demonstratif.
Dalam metode demonstratif, anak didik diajak untuk mencapai nilai-nilai teoritis. Prosesnya dijalankan dengan melakukan “instruksi oral ’ misalnya dengan kegiatan speech . Al-Farabi juga menekankan pentingnya diskusi dan dialog dalam metode instruktif. Metode ini digunakan agar anak didik mampu meraih pemahaman yang sebenarnya. Al-Farabi dengan metode ini sangat mengikuti Plato di mana ia ingin anak didiknya mendapatkan penerangan akan realitas yang sebenarnya. Ia tidak ingin setiap manusia, terutama dalam dunia Islam , tidak mampu melihat realitas an sich. Maka dengan begitu pemahaman dan pengertian sangat ditekankan dan menjadi metode yang pasti untuk meraih kesempurnaan dan kebahagiaan. Konsep yang logis dan universal merupakan tantangan metode ini karena tanpa kedua karakter tersebut pengetahuan tidak bisa memberikan pencerahan. Metode ini juga tidak begitu saja bisa diterima melainkan harus ada bukti-bukti yang  mendukung agar pengetahuan yang di dapat bisa dipercaya dan di ikuti.
Pencapaian nilai-nilai seni dan moral merupakan ciri dari model persuasif. Model ini merupakan metode yang mengajak atau mempengaruhi orang tanpa butuh kepastian pengetahuan atau tanpa diharuskannya ada bukti-bukti yang mendukung. Persuasi akan berjalan bila orang yang dipengaruhi merasa senang dan puas. Intinya jiwa orang tersebut dapat merasakan dan membayangkan sesuatu yang baik, dimensi afektif sangat ditekankan di sini. Metode instruksi al-Farabi memiliki dua aspek yaitu model audisi dan model imitasi . Dalam model audisi, anak didik belajar dengan didasarkan pada kemampuan berbicaranya yang disertai dengan pemahaman dan pengertiannya akan realitas sedangkan model imitasi adalah dengan mengamati gerak-gerik orang lain dahulu dan kemudian menirunya. Konsep ini memiliki arti hanya untuk meniru hal-hal yang baik dan yang mengembangkan sikap berbakti.

Untuk meraih kesempurnaan dari metode yang dibuatnya ini, al-Farabi sangat menekankan kebiasaan. Kebiasaan yang mengakar akan menjadikan anak didik semakin mengerti akan isi pembelajaran yang diberikan oleh para instruktor. Nilai-nilai etis juga digapai dengan melakukan kebiasaan dan repetisi sehingga nilai-nilai ini dapat tertanam dengan kuat di dalam pikiran. Dengan demikian, anak didik diharapkan dapat bertingkah laku bermoral. Model pengulangan juga mungkin dalam mengajarkan seni di mana kebiasaan yang akan dikembangkan adalah kemampuan berbicara yang persuasif, afektif, dan reflektif. Metode kebiasaan seperti ini baik diterapkan kepada orang-orang yang kurang taat karena dengan mengajak mereka membiasakan diri berpikir dan bertingkah laku yang baik akan ada kemungkinan mereka akan kembali ke jalan yang benar. Al-Farabi menyatakan bahwa untuk mengubah orang dengan membiasakannya pada sesuatu yang baik itu mungkin.



3.Makna Pembelajaran Menurut Al-Farabi
Perhatian utama al-Farabi dalam memaknai pembelajaran adalah untuk pengklasifikasian, pemahaman, dan penyadaran manusia akan arti hidup . Dia merekomendasikan bahwa manusia dalam pengklasifikasian, pemahaman, dan penyadaran ini dapat menggunakan observasi visual. Hal ini dimaksudkan agar manusia dapat mengerti relaitas sesuai dengan jangkauan inderanya. Dalam menuju abstraksi dari observasi visual, anak didik terlebih dahulu diajak untuk mendefinisikan sesuatu yang ditangkapnya dan kemudian anak didik diminta untuk menjelaskan dengan seksama sesuatu tersebut dengan menggunakan ilustrasi atau semacamnya. Yang jelas, anak didik mendapatkan makna dalam pembelajaran yang memang membutuhkan proses yang rumit dan lama.
Untuk menuju pencapaian makna pembelajaran yang maximal namun tidak membuat anak didik stress dan putus asa maka al-Farabi memberi perhatian kepada rekreasi yang mendukung yaitu dengan permainan atau penceritaan kisah-kisah yang menarik. Tujuan dari rekreasi ini adalah untuk membuat mereka menerima sisi humor dari kehidupan. Dengan sistem pembelajaran yang ketat dan berat dan kemudian diimbangi dengan rekreasi yang mendukung adalah usaha untuk membuat anak didik tidak sampai pada kelelahan atau kejenuhan yang berlebih. Dalam proses ini makna yang ingin ditarik adalah bahwa anak-anak didik dalam menanggapi dunia tidak diharapkan menganalisisnya dengan sesuatu pengetahuan teoritis yang tinggi melulu atau dengan tingkah laku praktis yang emosional melainkan mampu bersikap kreatif, yaitu mampu mengkondisikan diri berdasarkan waktu dan ruang yang ada. Dalam hal ini anak didik diharapkan tahu kapan ia menganalisis,mempersuasikan ataupun berada di tengahnya.
Al-Farabi juga berbicara mengenai hukuman dalam filsafat pendidikannya di mana dengan hukuman anak didik suatu ketika dapat mengerti makna pembelajaran yang diberikannya. Seorang guru menurutnya tidak boleh terlalu keras dan juga tidak boleh terlalu lembut. Jika ia terlalu keras maka anak-anak didiknya akan memusuhinya dan jika ia terlalu lembut maka anak-anak didiknya akan menjadi pemalas dan mereka tidak akan menaruh perhatian pada pelajaran sang guru. Maka posisi sang guru harus berada di tengah atau bersikap moderat. Posisi menjadi guru memang rumit tetapi ini dibutuhkan agar menghasilkan anak yang beguna untuk masyarakat yang akan mampu mengendalikan negara yang didiaminya. Oleh karena itu tindakan seorang guru harus benar-benar diperhitungkan apakah tindakan yang dibuatnya itu patut diteladani atau tidak. Hukuman yang diberikan sebaiknya tidak terlalu membahayakan dan mampu mengajak anak didik untuk berpikir reflektif terhadap kesalahan yang telah ia buat. Hukuman sebaiknya tidak mendeskriditkan atau menjatuhkan jiwa anak didik melainkan mengembangkannya untuk berpikiran kreatif dan maju ke depan dengan sesuatu yang positif. Kemudian, seorang guru juga perlu tegas. Hal ini dibutuhkan untuk pendisiplinan anak didik. Dengan ketegasan seorang anak didik akan mendapatkan kepastian pembelajaran sehingga tidak membuat mereka berperilaku menyimpang.Guru yang kurang tegas akan memberi peluang anak didik berbuat yang kurang baik dalam proses belajar mengajar.
D. TANGGAPAN KRITIS
Setelah mendalami dan memahami fisafat al-Farabi ternyata ia adalah orang yang cemerlang. Cemerlang di sini dalam arti ia berani untuk bersikap dan bertanggung jawab terhadap kondisi zamannya dengan menciptakan suatu pendidikan yang berguna untuk menciptakan masyarakat yang bermutu. Filsafat helenis memang pada saat itu merupakan filsafat yang bertentangan dengan kebudayaan dan tradisi Islam namun al-Farabi berani membawanya dan kemudian mengintegrasikan filsafat tersebut dalam konteks Islam.
Penekanan pendidikan dalam filsafat al-Farabi adalah akal budi. Di sini akal budi lebih dikembangkan ketimbang emosional. Pencapaian dengan akal budi akan membawa pencerahan yang murni dan itu mampu membawa manusia melihat realitas yang sesungguhnya, tentunya dengan ada cukup bukti. Namun, indahnya filsafat al-Farabi ini tidak berhenti pada akal budi saja melainkan dikembangkan bersama dengan moralitas dan iman. Pengetahuan tidak bisa berdiri begitu saja tanpa ada moralitas dan agama. Farabi berpendapat bahwa agama dimaksudkan untuk mengajarkan manusia tentang hal-hal yang bersifat teoritis dan praktis ang disimpulkan dalam filsafat lewat cara-cara yang memberikan kemudahan bagi banyak orang, baik lewat persuasi atau gambaran atau lewat keduanya bersama-sama.
[7] Maksud pokok Farabi adalah ingin menjelaskan bahwa agama tidak dapat berjalan bertentagan dengan pengetahuan demonstratif yang dapat diperoleh lewat filsafat, karena agama adalah juga merupakan suatu tindakan perenungan dan rumusan suatu pengetahuan yang lebih mudah dicernah.[8] Di sinilah kekuatan dan ciri khas dari al-Farabi di mana pengetahuan bukan sesuatu mutlak yang harus diraih melainkan terintegrasi dalam hasil akhir yaitu kesempurnaan dan kebahagiaan. Maka dari itu, walaupun filsafat ini merupakan filsafat zaman antik namun sepertinya filsafat pendidikan seperti ini masih perlu dikembangkan di zaman sekarang ini. Kesatuan antara yang teoritis dan praktis memang perlu diwujudnyatakan bersamaan dengan iman dan pengharapan.




[1] Yamani,Al-Farabi.2005, hal.11
[2] Eduarny Tarmiji,KonsepAl-Farabi Tentang negara utama.2004
[3] H.Simajuddin Zar,2004.Filsafat Islam.Jakarta
[4] Eduarny Tarmiji,2004.Konsep Al-Farabi tentang Negara utama
[5] Yamani,Al Farabi.2005,hal.22
[6] Oliver Leamen,Pengantar Filsafat Islam.hal.133
[7] Farabi,Book of letters, editor M. Mahdi, hal.131
[8] Oliver leamen, Pengantar Filsafat Islam,hal.289