Senin, 09 Mei 2011

AL-FARABI


AL-FARABI

  1. BIOGRAFI AL-FARABI
Abū Nasir Muhammad bin al-Farakh al-Fārābi (870-950, Bahasa Persia: محمد فارابی ) singkat Al-Farabi adalah ilmuwan dan filsuf Islam yang berasal dari Farab, Kazakhstan. Ia juga dikenal dengan nama lain Abū Nasir al-Fārābi (dalam beberapa sumber ia dikenal sebagai Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzalah Al- Farabi , juga dikenal di dunia barat sebagai Alpharabius, Al-Farabi, Farabi, dan Abunasir. Latar belakang keluarga Al-Farabi adalah keturanan Persia (kendatipun nama kakek dan nama kakek buyutnta jelas mannjukkan nama turki) yang mengabdi kepada pangeran-pangeran Dinasti Samaniyyah. Kemungkinan masuknya keluarga ini ke dalam Islam, terjadi pada masa hidup kakeknya,Tarkhan. Peristiwa ini kira-kira bersamaan dengan peristiwa penakhlukan dan islamisasi atas Farab oleh Dinasti Samaniyyah pada 839-840M.[1] Sedangkan ibunya berdarah Turki asli.

Sejak dini ia digambarkan memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari. Pada masa awal pendidikannya ini, al-Farabi belajar al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmatika dasar. Al-Farabi muda belajar ilmu-ilmu islam dan musik di Bukhara, dan tinggal di Kazakhstan sampai umur 50. Ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu di sana selama 20 tahun. Setelah kurang lebih 10 tahun tinggal di Baghdad, yaitu kira-kira pada tahun 920 M, al Farabi kemudian mengembara di kota Harran yang terletak di utara Syria, dimana saat itu Harran merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil. Ia kemudian belajar filsafat dari Filsuf Kristen terkenal yang bernama Yuhana bin Jilad.[2] Tahun 940M, al Farabi melajutkan pengembaraannya ke Damaskus dan bertemu dengan Sayf al Dawla al Hamdanid, Kepala daerah (distrik) Aleppo, yang dikenal sebagai simpatisan para Imam Syi’ah. Kemudian al-Farabi wafat di kota Damaskus pada usia 80 tahun (Rajab 339 H/ Desember 950 M) di masa pemerintahan Khalifah Al Muthi’ (masih dinasti Abbasiyyah). Al-Farabi adalah seorang komentator filsafat Yunani yang ulung di dunia Islam. Meskipun kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia mengenal para filsuf Yunani; Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan baik. Kontribusinya terletak di berbagai bidang seperti matematika, filosofi, pengobatan, bahkan musik. Al-Farabi telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah buku penting dalam bidang musik, Kitab al-Musiqa. Selain itu, ia juga dapat memainkan dan telah menciptakan bebagai alat musik. Al-Farabi dikenal dengan sebutan "guru kedua" setelah Aristoteles, karena kemampuannya dalam memahami Aristoteles yang dikenal sebagai guru pertama dalam ilmu filsafat. Dia adalah filsuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu. Al-Farabi hidup pada daerah otonomi di bawah pemerintahan Sayf al Dawla dan di zaman pemerintahan dinasti Abbasiyyah, yang berbentuk Monarki yang dipimpin oleh seorang Khalifah.[3] Ia lahir dimasa kepemimpinan Khalifah Mu’tamid (869-892 M) dan meninggal pada masa pemerintahan Khalifah Al-Muthi’ (946-974 M) dimana periode tersebut dianggap sebagai periode yang paling kacau karena ketiadaan kestabilan politik. Dalam kondisi demikian, al-Farabi berkenalan dengan pemikiran-pemikiran dari para ahli Filsafat Yunani seperti Plato dan Aristoteles dan mencoba mengkombinasikan ide atau pemikiran-pemikiran Yunani Kuno dengan pemikiran Islam untuk menciptakan sebuah negara pemerintahan yang ideal (Negara Utama). [4]
B.KARYA-KARYA AL-FARABI
            Banyak karya yang telah di hasilkan oleh Al-Farabi.Dari bidang Ilmu Pengetahuan, karya-karya Al-Farabi di kelompokan menjadi 6:
1.Logika
2.Ilmu-ilmu Matematika
3.Ilmu Alam
4.Teologi
5.Ilmu Politik dan kenegaraan
6.Bunga rampai (Kutub Munawwa’ah).
            Menurut salah satu kajian, sebagian besar karyanya difokuskan pada kajian mengenai logika (sekitar empat puluh judul). Karya yang lain meliputi cabang filsafat lain,yakni fisika atau filsafat alam (natural philosophy),di bidang musik Musiqo Al-Kabir,di bidang metafisika Al-Jam’ bain ra’yai al-hakimah wa aristuthalis[5]. Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau Negara Utama) yang membahas tetang pencapaian kebahagian melalui kehidupan politik dan hubungan antara rejim yang paling baik menurut pemahaman Plato dengan hukum Ilahiah islam. Filsafat politik Al-Farabi, khususnya gagasannya mengenai penguasa kota utama mencerminkan rasionalisasi ajaran Imamah dalam Syi'ah.
C. PEMIKIRAN AL-FARABI
Manusia menurut Farabi memiliki potensi untuk menerima bentuk-bentuk pengetahuan yang terpahami (ma’qulat) atau universal-universal. Potensi ini akan menjadi aktual jika ia disinari oleh Intelek Aktif.[6] Pencerahan oleh Intelek Aktif memungkinkan transformasi serempak intelek potensial dan obyek potensial ke dalam aktualitasnya. Al-Farabi menganalogkan hubungan antara akal potensial dengan Akal Aktif seperti mata dengan matahari. Mata hanyalah kemampuan  potensial  untuk melihat selama dalam kegelapan, tapi dia menjadi aktual ketika menerima sinar matahari. Bukan hanya obyek-obyek indrawi saja yang bisa dilihat, tapi juga cahaya dan matahari yang menjadi sumber cahaya itu sendiri.Di samping itu, intelek manusia sendiri memiliki apa yang disebut dengan pengetahuan primer. Pengetahuan primer ada dengan sendirinya dalam intelek manusia dan kebenarannya tidak lagi membutuhkan penalaran sebelumnya. Pengetahuan ini misalnya bahwa tiga adalah angka ganjil atau bahwa keseluruhan lebih besar dari bagiannya.Intelek potensial yang sudah disinari akan berubah menjadi bentuk yang sama dengan pengetahuan primer yang diterimanya sebagai bentuk tersebut. Untuk menggambarkan proses ini, al-Farabi menganalogkan dengan sepotong benda yang masuk ke dalam lilin cair, benda terseut tidak hanya tercetak pada lilin, tapi ia juga merubah lilin cair tersebut menjadi sebuah citra utuh benda itu sendiri sehingga ia menjadi satu. Atau, bisa juga dianalogkan dengan sepotong kain yang masuk ke dalam zat pewarna. Perolehan aktualitas oleh akal potensial  menjadi sempurna jika proses ini tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan primer, tapi juga dengan pengetahuan yang diupayakannya. Pada tahap ini, intelek aktual merefleksikan dirinya sendiri. Kandungan intelek aktual adalah pengetahuan murni. Intelek aktual dapat mengetahui dirinya sendiri karena ia merupakan intelek sekaligus pengetahuan itu sendiri. Ketika intelek aktual sudah sampai pada tahap ini, ia menjadi apa yang disebut al-Farabi dengan intelek perolehan atau al-aql al-mustafad atau acquired intelect.Dengan demikian, intelek perolehan merujuk pada intelek aktual ketika mencapai tahap mampu memposisikan diri sebagai pengetahuan (self-intelligible) dan bisa melakukan proses pemahaman tanpa bantuan kekuatan lain (self-inttellective). Intelek perolehan adalah bentuk intelek manusia paling tinggi. Intelek perolehan adalah yang paling mirip dengan dengan Intelek Aktif karena keduanya memiliki kandungan yang sama. Di samping itu, akal perolehan juga tidak membutuhkan raga bagi kehidupannya dan tidak membutuhkan kekuatan fisik badani untuk aktifitas berpikirnya.
1.Pendidikan menurut Al-Farabi
Pendidikan bagi al-Farabi adalah sesuatu yang pantas diperjuangkan. Ia menyatakan hal ini dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi tempatnya yang masih peduli pada hal-hal mitis dan yang selalu menghindari aspek pengetahuan akal budi. Di sini, budaya Islam juga sangat kental mempengaruhi. Dalam usaha ingin memperbaiki keadaan negrinya ia melahirkan suatu ide tentang pendidikan yang didasarkan oleh filsafat Plato dan Aristoteles. Maka, al-Farabi dengan mengikuti filsafat mereka mencoba memperkenalkan metode yang menurutnya mampu membawa bangsanya keluar dari pandangan sempitnya .

Tujuan pendidikan dalam filsafat Al Farabi adalah untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan. Untuk itu tugas pendidikan adalah mempersiapkan manusia sebagai anggota yang siap terjun ke masyarakat . Persiapan ini dimulai sedari kecil sehingga di masa dewasa ia akan punya tabiat baik terutama dalam meraih kesempurnaan dan juga tujuan-tujuan yang dibuatnya. Pendidikan semacam ini, menurut al-Farabi, penting untuk jiwa manusia. Keseluruhan aktvitas pendidikan, dalam perspektif Al Farabi, merupakan peraihan nilai-nilai, pengetahuan intelektual dan keterampilan praktis, yang kemudian harus dikembangkan pada tujuannnya yaitu membawa manusia kepada kesempurnaan.
Dengan peraihan kesempurnaan, kemanusiaan tidaklah bisa dilupakan. Salah satu contoh adalah pencapaian kebahagiaan di dunia ini merupakan pencapaian tujuan di mana kebahagiaaan merupakan kesempurnaan tertinggi dan didalamnya terdapat proses memandang sesamanya secara manusiawi. Kesempurnaan manusia, menurutnya, adalah proses akhir dalam meraih nilai-nilai teoritis atau pengetahuan intelektual dan nilai-nilai praktis atau tingkah laku bermoral. Dengan usaha pencapaian kedua hal ini, individu akan bisa masuk ke dalam masyarakat dengan menjadi anggota masyarakat. Individu yang kental dengan sifat ini akan bisa menjadi teladan dan kemudian bisa menjadi seorang pemimpin. Pendidikan semacam ini juga menyangkut moral dan estetika. Hasil yang dicapai adalah satu yaitu kebahagiaan dan kebaikan. Kesempurnaan teoritis dan praktis di sini diraih di dalam masyarakat karena pemahaman kebebasan manusia itu ada setelah masyarakat. Individu memang tidak pernah berdiri sendiri melainkan mengandaikan bimbingan orang lain.
Tujuan lain dari filsafat pendidikan al-Farabi adalah pembentukan pemimpin-pemimpin politik yang handal . Dalam menuju keutuhan masyarakat memang tidak salah lagi bila dibutuhkan seorang pemimpin semacam itu. Masyarakat atau kehidupan sosial dalam konteks al-Farabi ada karena terjadi integrasi antara individu, keluarga, dan kelompok. Pemimpin politik memiliki fungsi sebagai dokter yang menyembuhkan jiwa sehingga dengan kepemimpinannya jiwa masyarakat akan selalu sehat. Seorang pemimpin diusahakan mampu menyemangati masyarakatnya untuk dapat menolong satu dengan yang lain. Terutama dalam meraih sesuatu yang baik dan menghindar dari yang jahat. Kemampuan politisnya harus digunakan untuk menjaga nilai-nilai yang mampu mengembangkan masyarakat.
Kesempurnaan masyarakat al-Farabi dapat terjadi bila ada keseimbangan moral di antara setiap masyarakat. Ketika tingkah laku moral menurun dan tidak ada kepercayaan terhadap pemimpin maka masyarakat akan menuju kepada kehancurannya. Maka, moralitas di sini menjadi dasar objektif dari pendidikan. Dengan adanya moralitas, negara bisa bertahan dan mewujudkan dirinya. Keutamaan moral, oleh al-Farabi, didefinisikan sebagai keadaan dalam pikiran yang dengannya manusia mampu melahirkan tindakan-tindakan yang sopan dan santun. Dalam filsafat al-Farabi pendidikan dijadikan proses untuk mengkombinasikan yang teoritis dan praktis tersebut. Kesempurnaan dari hal-hal tersebut merupakan tujuan akhir di mana
kebahagiaan juga eksis.
Untuk menerapkan filsafatnya dalam kehidupan sehari-hari, al-Farabi membagi tugas terhadap beberapa figur masyarakat. Misalkan seorang imam, ia memiliki tanggung jawab besar dalam pendidikan ini. Imam adalah orang yang dihormati dan diteladani maka dari itu imam memegang peranan mendidik. Kotbah sang imam harus seputar kesempurnaan moralitas, yaitu kesatuan teori dan praktek. Juga, pendidikan merupakan tanggung jawab negara sehingga negara berperanan dalam budget pendidikan. Oleh al-Farabi, budget pendidikan dalam negara diambil dari sebagian zakat dan kharaj (pajak tanah) .


            2.Metode Pembelajaran Menurut Al-Farabi
Metode pembelajaran al-Farabi tercipta dengan mengacu pada tujuan itu sendiri, yaitu untuk meraih kesempurnaan dan kebahagiaan. Tujuan ini dicapai bukan untuk kebutuhan pribadi semata melainkan untuk terciptanya masyarakat yang islami. Maka, dengan melihat ini al-Farabi percaya bahwa metode pembelajaran dengan metode instruksi dapat dikatakan sebagai metode yang baik untuk diterapkan kepada orang-orang. Namun, metode ini tidak begitu saja bisa diajarkan ke semua orang, melainkan ada levelnya yaitu level orang-orang biasa dan orang elit. Bagi orang-orang biasa, dasar metodenya adalah persuasif dan bagi orange lit adalah demonstratif.
Dalam metode demonstratif, anak didik diajak untuk mencapai nilai-nilai teoritis. Prosesnya dijalankan dengan melakukan “instruksi oral ’ misalnya dengan kegiatan speech . Al-Farabi juga menekankan pentingnya diskusi dan dialog dalam metode instruktif. Metode ini digunakan agar anak didik mampu meraih pemahaman yang sebenarnya. Al-Farabi dengan metode ini sangat mengikuti Plato di mana ia ingin anak didiknya mendapatkan penerangan akan realitas yang sebenarnya. Ia tidak ingin setiap manusia, terutama dalam dunia Islam , tidak mampu melihat realitas an sich. Maka dengan begitu pemahaman dan pengertian sangat ditekankan dan menjadi metode yang pasti untuk meraih kesempurnaan dan kebahagiaan. Konsep yang logis dan universal merupakan tantangan metode ini karena tanpa kedua karakter tersebut pengetahuan tidak bisa memberikan pencerahan. Metode ini juga tidak begitu saja bisa diterima melainkan harus ada bukti-bukti yang  mendukung agar pengetahuan yang di dapat bisa dipercaya dan di ikuti.
Pencapaian nilai-nilai seni dan moral merupakan ciri dari model persuasif. Model ini merupakan metode yang mengajak atau mempengaruhi orang tanpa butuh kepastian pengetahuan atau tanpa diharuskannya ada bukti-bukti yang mendukung. Persuasi akan berjalan bila orang yang dipengaruhi merasa senang dan puas. Intinya jiwa orang tersebut dapat merasakan dan membayangkan sesuatu yang baik, dimensi afektif sangat ditekankan di sini. Metode instruksi al-Farabi memiliki dua aspek yaitu model audisi dan model imitasi . Dalam model audisi, anak didik belajar dengan didasarkan pada kemampuan berbicaranya yang disertai dengan pemahaman dan pengertiannya akan realitas sedangkan model imitasi adalah dengan mengamati gerak-gerik orang lain dahulu dan kemudian menirunya. Konsep ini memiliki arti hanya untuk meniru hal-hal yang baik dan yang mengembangkan sikap berbakti.

Untuk meraih kesempurnaan dari metode yang dibuatnya ini, al-Farabi sangat menekankan kebiasaan. Kebiasaan yang mengakar akan menjadikan anak didik semakin mengerti akan isi pembelajaran yang diberikan oleh para instruktor. Nilai-nilai etis juga digapai dengan melakukan kebiasaan dan repetisi sehingga nilai-nilai ini dapat tertanam dengan kuat di dalam pikiran. Dengan demikian, anak didik diharapkan dapat bertingkah laku bermoral. Model pengulangan juga mungkin dalam mengajarkan seni di mana kebiasaan yang akan dikembangkan adalah kemampuan berbicara yang persuasif, afektif, dan reflektif. Metode kebiasaan seperti ini baik diterapkan kepada orang-orang yang kurang taat karena dengan mengajak mereka membiasakan diri berpikir dan bertingkah laku yang baik akan ada kemungkinan mereka akan kembali ke jalan yang benar. Al-Farabi menyatakan bahwa untuk mengubah orang dengan membiasakannya pada sesuatu yang baik itu mungkin.



3.Makna Pembelajaran Menurut Al-Farabi
Perhatian utama al-Farabi dalam memaknai pembelajaran adalah untuk pengklasifikasian, pemahaman, dan penyadaran manusia akan arti hidup . Dia merekomendasikan bahwa manusia dalam pengklasifikasian, pemahaman, dan penyadaran ini dapat menggunakan observasi visual. Hal ini dimaksudkan agar manusia dapat mengerti relaitas sesuai dengan jangkauan inderanya. Dalam menuju abstraksi dari observasi visual, anak didik terlebih dahulu diajak untuk mendefinisikan sesuatu yang ditangkapnya dan kemudian anak didik diminta untuk menjelaskan dengan seksama sesuatu tersebut dengan menggunakan ilustrasi atau semacamnya. Yang jelas, anak didik mendapatkan makna dalam pembelajaran yang memang membutuhkan proses yang rumit dan lama.
Untuk menuju pencapaian makna pembelajaran yang maximal namun tidak membuat anak didik stress dan putus asa maka al-Farabi memberi perhatian kepada rekreasi yang mendukung yaitu dengan permainan atau penceritaan kisah-kisah yang menarik. Tujuan dari rekreasi ini adalah untuk membuat mereka menerima sisi humor dari kehidupan. Dengan sistem pembelajaran yang ketat dan berat dan kemudian diimbangi dengan rekreasi yang mendukung adalah usaha untuk membuat anak didik tidak sampai pada kelelahan atau kejenuhan yang berlebih. Dalam proses ini makna yang ingin ditarik adalah bahwa anak-anak didik dalam menanggapi dunia tidak diharapkan menganalisisnya dengan sesuatu pengetahuan teoritis yang tinggi melulu atau dengan tingkah laku praktis yang emosional melainkan mampu bersikap kreatif, yaitu mampu mengkondisikan diri berdasarkan waktu dan ruang yang ada. Dalam hal ini anak didik diharapkan tahu kapan ia menganalisis,mempersuasikan ataupun berada di tengahnya.
Al-Farabi juga berbicara mengenai hukuman dalam filsafat pendidikannya di mana dengan hukuman anak didik suatu ketika dapat mengerti makna pembelajaran yang diberikannya. Seorang guru menurutnya tidak boleh terlalu keras dan juga tidak boleh terlalu lembut. Jika ia terlalu keras maka anak-anak didiknya akan memusuhinya dan jika ia terlalu lembut maka anak-anak didiknya akan menjadi pemalas dan mereka tidak akan menaruh perhatian pada pelajaran sang guru. Maka posisi sang guru harus berada di tengah atau bersikap moderat. Posisi menjadi guru memang rumit tetapi ini dibutuhkan agar menghasilkan anak yang beguna untuk masyarakat yang akan mampu mengendalikan negara yang didiaminya. Oleh karena itu tindakan seorang guru harus benar-benar diperhitungkan apakah tindakan yang dibuatnya itu patut diteladani atau tidak. Hukuman yang diberikan sebaiknya tidak terlalu membahayakan dan mampu mengajak anak didik untuk berpikir reflektif terhadap kesalahan yang telah ia buat. Hukuman sebaiknya tidak mendeskriditkan atau menjatuhkan jiwa anak didik melainkan mengembangkannya untuk berpikiran kreatif dan maju ke depan dengan sesuatu yang positif. Kemudian, seorang guru juga perlu tegas. Hal ini dibutuhkan untuk pendisiplinan anak didik. Dengan ketegasan seorang anak didik akan mendapatkan kepastian pembelajaran sehingga tidak membuat mereka berperilaku menyimpang.Guru yang kurang tegas akan memberi peluang anak didik berbuat yang kurang baik dalam proses belajar mengajar.
D. TANGGAPAN KRITIS
Setelah mendalami dan memahami fisafat al-Farabi ternyata ia adalah orang yang cemerlang. Cemerlang di sini dalam arti ia berani untuk bersikap dan bertanggung jawab terhadap kondisi zamannya dengan menciptakan suatu pendidikan yang berguna untuk menciptakan masyarakat yang bermutu. Filsafat helenis memang pada saat itu merupakan filsafat yang bertentangan dengan kebudayaan dan tradisi Islam namun al-Farabi berani membawanya dan kemudian mengintegrasikan filsafat tersebut dalam konteks Islam.
Penekanan pendidikan dalam filsafat al-Farabi adalah akal budi. Di sini akal budi lebih dikembangkan ketimbang emosional. Pencapaian dengan akal budi akan membawa pencerahan yang murni dan itu mampu membawa manusia melihat realitas yang sesungguhnya, tentunya dengan ada cukup bukti. Namun, indahnya filsafat al-Farabi ini tidak berhenti pada akal budi saja melainkan dikembangkan bersama dengan moralitas dan iman. Pengetahuan tidak bisa berdiri begitu saja tanpa ada moralitas dan agama. Farabi berpendapat bahwa agama dimaksudkan untuk mengajarkan manusia tentang hal-hal yang bersifat teoritis dan praktis ang disimpulkan dalam filsafat lewat cara-cara yang memberikan kemudahan bagi banyak orang, baik lewat persuasi atau gambaran atau lewat keduanya bersama-sama.
[7] Maksud pokok Farabi adalah ingin menjelaskan bahwa agama tidak dapat berjalan bertentagan dengan pengetahuan demonstratif yang dapat diperoleh lewat filsafat, karena agama adalah juga merupakan suatu tindakan perenungan dan rumusan suatu pengetahuan yang lebih mudah dicernah.[8] Di sinilah kekuatan dan ciri khas dari al-Farabi di mana pengetahuan bukan sesuatu mutlak yang harus diraih melainkan terintegrasi dalam hasil akhir yaitu kesempurnaan dan kebahagiaan. Maka dari itu, walaupun filsafat ini merupakan filsafat zaman antik namun sepertinya filsafat pendidikan seperti ini masih perlu dikembangkan di zaman sekarang ini. Kesatuan antara yang teoritis dan praktis memang perlu diwujudnyatakan bersamaan dengan iman dan pengharapan.




[1] Yamani,Al-Farabi.2005, hal.11
[2] Eduarny Tarmiji,KonsepAl-Farabi Tentang negara utama.2004
[3] H.Simajuddin Zar,2004.Filsafat Islam.Jakarta
[4] Eduarny Tarmiji,2004.Konsep Al-Farabi tentang Negara utama
[5] Yamani,Al Farabi.2005,hal.22
[6] Oliver Leamen,Pengantar Filsafat Islam.hal.133
[7] Farabi,Book of letters, editor M. Mahdi, hal.131
[8] Oliver leamen, Pengantar Filsafat Islam,hal.289

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan anda berkomentar,namun tetap jaga kesopanan dengan tidak mengirim spam