DEFINISI DIGLOSIA
Jika dalam bahasa Indonesia hanya terdapat satu ragam baku,maka dalam bahasa tertentu ditemukan situasi yang berbeda yang di dalamnya terdapat dua ragam baku yang sama-sama diakui dan dihormati .Hal tersebut biasa disebut sebagai diglosia.Diglosia adalah sejenis pembakuan bahasa yang khusus ketika dua ragam bahasa berada berdampingan di dalam keseluruhan masyarakat bahasa dan masing-masing ragam bahasa itu diberi fungsi social tertentu.pembahasan diglosia berkenaan dengan pemakaian ragam bahasa rendah (ditandai dengan R)dan ragam bahasa tinggi (ditandai dengan T) dalam suatu kelompok masyarakat .
Ciri-ciri situasi diglosia yang paling penting adalah pengkhususan fungsi masing-masing ragam bahasa. Ragam bahasa tinggi khusus digunakan dalam situasi-situasi formal seperti kegiatan keagamaan, pidato-pidato, kuliah, siaran berita, atau pada tajuk rencana dalam surat kabar. Sebaliknya, ragam bahasa rendah biasa digunakan dalam situasi-situasi santai seperti percakapan sehari-hari dalam keluarga, antara teman, cerita bersambung dalam radio, atau dalam sastra rakyat.
Dalam situasi diglosia akan kita jumpai adanya tingkat-tingkat bahasa dalam beberapa bahasa daerah di Indonesia, seperti bahasa Jawa, Sunda, Bali, Madura, yang masing-masing mempunyai nama. Dalam masyarakat Sunda dikenal undak usuk basa, di dalamnya terdapat aturan tata bahasa yang mengatur tingkatan ragam bahasa rendah dan ragam bahasa tinggi seperti basa cohag (ragam kasar), basa loma (ragam untuk sesama), basa sedeng (ragam sedang atau tengah), basa lemes (ragam halus). Di Jawa terdapat bahasa ngoko (tingkat paling rendah), krama (tengah), krama inggil (tingkat tinggi). Keduanya mempunyai ukuran baku masing-masing dan diakui oleh masyarakat pemakainya.
Ragam-ragam tersebut menduduki fungsi sosial, walaupun sekarang fungsi sosial tersebut sulit dicari. Dahulu, ragam bahasa seperti dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa benar-benar digunakan sesuai dengan tingkatan sosial masyarakatnya juga sesuai situasi. Dalam bahasa Jawa misalnya, krama inggil dipakai untuk sastra (termasuk tembang), sedangkan untuk percakapan sehari-hari menggunakan bahasa ngoko. Begitu juga dalam bahasa Sunda, ketika seorang anak berbicara dengan seorang guru tidak bisa menggunakan bahasa loma, tetapi harus menggunakan bahasa lemes. Namun, sekarang hal tersebut sulit sekali untuk dicari.
Pemakaian suatu ragam dalam bahasa-bahasa daerah itu bukan didasarkakn atas topik pembicaraan, melainkan oleh siapa (golongan atau kelas) dan untuk siapa. Dalam masayarakat Bali, terdapat kasta-kasta dalam masyarakatnya, ada suatu aturan pemakaian ragam bahasa. Misalnya, kasta rendah harus menggunakan bahasa rendah untuk sesamanya dan bahasa tinggi untuk kasta yang lebih tinggi.
Namun, menurut Fishman dalam Sumarsono (2007:39), pengertian diglosia seperti telah dibahas di atas merupakan teori yang sudah dianggap klasik. Jika menurut Ferguson, diglosia itu mengacu kepada kondisi ‘dua ragam dalam satu bahasa hidup berdampingan dalam guyup bahasa, dan masing-masing ragam itu mempunyai peran atau fungsi tertentu’, maka Fishman mengembangkan gagasan peran atau fungsi itu ke wilayah yang lebih luas. Menurutnya, diglosia adalah obyek sosiolinguistik yang mengacu kepada pendistribusian lebih dari satu ragam bahasa atau bahasa yang mempunyai tugas-tugas komunikasi berbeda dalam suatu masyarakat. Fishman mengacu kepada perbedaan linguistik, bagaimanapun bentuk dan wujudnya, mulai dari perbedaan gaya dalam satu bahasa sampai kepada penggunaan dua bahasa yang sangat berbeda. Menurut Fishman, yang penting dalam hal ini adalah masing-masing ragam itu mempunyai fungsi yang berbeda dan dalam ranah yang berbeda pula.
Dicontohkan Sumarsono (2007:40), di sebuah kota besar di Indonesia terdapat beberapa suku bangsa dengan bahasa daerah masing-masing di samping bahasa Indonesia. Menurut Sumarsono, fungsi bahasa daerah berbeda dengan bahasa Indonesia dan msing-masing mempunyai ranah yang berbeda pula. Bahasa daerah membangun suasana kekeluargaan, keakraban, kesantaian, dan dipakai dalam ranah kerumahtanggaan, ketetanggaan, dan kekariban, sedangkan bahasa Indonesia membangun suasana formal, resmi, kenasionalan, dan dipakai misalnya dalam ranah persekolahan (sebagai bahasa pengantar), ranah kerja (bahasa resmi dalam rapat), dan dalam ranah keagamaan (kotbah).
Adapun tentang definisi diglosia yang telah di jelaskan oleh ferguson itu member beberapa pengertian :
1. Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relative stabil , di mana selain terdapat sejumlah dialek-dialek utama (lebih tepat ragam-ragam utama )dari satu bahasa, terdapat juga sebuah ragam lain.
2. Dialek-dialek utama itu,di antaranya,bias berupa sebuah standar regional.
3. Ragam lain (yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri :
• Sudah terkodifikasi
• Gramatikalnya lebih kompleks
• Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati
• Dipelajari melalui pendidikan formal
• Digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal
• Tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan sehari-hari.
Diglosia ini dijelaskan oleh ferguson dengan mengetengahkan Sembilan topik .yaitu fungsi ,prestise,warisan sastra,pemerolehan,standardisasi,stabilitas,gramatikal,leksikon,dan fonolog.
Fungsi merupakankriteria diglosia yang sangat penting.menurut ferguson dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa :variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat dialek T atau ragamT),dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat dialek Ratau ragam R ).dalam bahasa Arab dialek T-nya adalah bahasa Arab klasik ,bahasa Al-quran yang lazim disebutal-fusha,dialek R-nya berbagai bentuk bahasa Arab yang digunakan oleh bangsa Arab ,yang lazim disebut addarij.
Prestise. Dalam masyarakat diglosis para penutur biasanya menganggap dialek T lebih bergengsi,lebih superior,lebih terpandang dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap inferior,bahkan ada yang menolak keberadaanya.menurut Ferguson banyak orang Arab dan Haiti terpelajar menganjurkan agar dialek R tidak digunakan,meskipun dalam percakapan sehari-hari mereka menggunakan dialek R itu.Anjuran golongan terpelajar Arab dan Haiti itu tentu saja merupakan kekeliruan,sebab dialek T dan dialek R mempunyai fungsinya masing-masing,yang tidak dapat dipertukarkan.Dalam masyarakat Indonesia pun ragam bahasa Indonesia baku dianggap lebih bergengsi dari pada ragam bahasa Indonesia nonbaku.
Warisan kesusastraan .pada tiga dari empat bahasa yang digunakanferguson sebagai contoh terdapat kesusastraan dimana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat bahasa tersebut. Kalau ada jiga karya sastra kontemporer dengan menggunakan ragam T ,maka dirasakan sebagai kelanjutan dari tradisi itu,yakni bahwa karya sastra harus dalam ragamT.Tradisi kesusastraan yang selalu dalam ragam T ini menyebabakan kesusastraan menjadi asing dari masyarakat umum.namun kesusastraan itu tetap berakar ,baik di Negara-negara berbahasa Arab,bahasa Yunani di Yunani,bahasa Prancis di Haiti,da nbahasa jerman di Swiss yang berbahasa jerman.
Pemerolehan.Ragam T diperoleh dengan memepelajarinya dalam pendidikan formal,sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan.oleh karena itu,mereka yang tidak pernah memasuki dunia pendidikan formal tidak akan mengenal ragam T sama sekali.begitu juga mereka yang keluar dari pendidikan formal kelas-kelas awal.mereka yang mempelajari ragam T hamper tidak pernah menguasainya dengan lancer,selancar penguasaannya terhadap ragam R.Alasannya,ragam T tidak selalu digunakan,dan dalam mempelajarinya selalu terkendali dengan berbagai kaidah dan aturan tata bahasa;sedangkan ragam R digunakan secara regular dan terus –menerus di dalam pergaulan sehari-hari.
Standardisasi.Karena ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi,maka tidak mengherankan kalau standardisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kodifikasi formal.kamus,tata bahasa petunjuk lafal,dan buku-buku kaidah untuk penggunaam yang benar ditulis untuk ragam T.sebaliknya,ragam R tidak perlu diurus dan di diperhatikan.
Stabilitas.kestabilan dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama di mana ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu.pertentangan atau perbedaan antara ragam T dan ragam R dalam masyarakat diglosis selalu ditonjolkan karena adanya perkembangan dalam bentuk-bentuk campuran yang memilki ciri-ciri ragam T dan ragam R.
Gramatikal.Ferguson berpandangan bahwa ragam T dan ragam R dalam diglosia merupakan bentuk-bentuk dari bahasa yang sama;namun di dalam gramatikal ternyata terdapat perbedaan.umpamanya,dalam bahasa Jerman standar kita dapati empat kasus nomina dan dua tense indikatif sederhana;sedangkan dalam bahasa Jerman Swiss hanya terdapat tega kasus nomina,dan satu tense sederhana.nomina dalam bahasa Prancis menunjukkan agreement dalam jumlah dan jenis (gender).
Leksikon.sebagian besar kosakata pada ragam T dan ragam R adlah sama.namun ,ada kosakata pada ragam T yang tidak ada pasangannya pada ragam R,atau sebaliknya,da kosakata pada ragam R yang tidak ada pasangannya pada ragamT .ciri yang paling menonjol pada diglosia adalah adanya kosakata yang berpasangan,satu untuk ragam T dan satu untuk ragam R,yang biasanya untuk konsep-konsep yang sangat umum.umpamanya,dalam bahasa Yunani “rumah”untuk ragam T adalah ikos dan untuk ragam R adalah spiti.dalam bahasa Arab “hidung”untuk ragam T adalah anfun dan untuk ragam R adalah manakhir.dan “sekarang”untuk ragam T adalah al ‘an,sedangkan ragam R adalah dilwa’ti.
Fonologi.dalam bidang fonologi ada perbedaan struktur antara ragam T dan ragam R .perbedaan tersebut bias dekat bias juga jauh.Ferguson menyatakan system bunyi ragam T dan ragam R sebenarnyamerupakansistem tunggal;namun,fonologi T merupakan system dasar,sedangkan fonologi R, yang beragam-ragam,merupakan subsistematau parasistem.fonologi T lebih dekat dengan bentukumum yang mendasari dalam bahasa secara keseluruhan.fonologi R lebih jauh dari bentuk-bentuk yang mendasar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan anda berkomentar,namun tetap jaga kesopanan dengan tidak mengirim spam